Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan

Ditulis Agustus 1, 2007 oleh konsultananak
Kategori: kekerasan anak

 Oleh: Drs. H. Ibnu Anshori, SH, MA 

Issue  kekerasan  terhadap anak semakin  hari semakin menjadi perbincangan publik  seiring dengan semakin ruetnya ekonomi  Indonesia.  Namun demikian, kekerasan spesifik yang dilakukan oleh guru atau keluarga pada anak  atas nama pendisiplinan atau disebut corporal punishment tidak  banyak diperbincangkan. Pertama, karena  belum ada  paradigma bahwa sebenarnya kekerasan pendidikan itu tidak saja memiliki dampak negative bagi tumbuh kembang anak, tetapi juga merupakan pelanggaran hak asazi anak. Kedua, kekerasan yang dilakukan oleh guru atau keluarga sering kali terbungkus oleh persepsi masyarakat yang meletakkan masalah ini sebagai persoalan domestik karena itu tidak layak atau tabu untuk diekspos secara terbuka. Ketiga, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat “keep silent” yaitu tidak terbiasa menyuarakan suara hatinya walau sebenarnya kekerasan dalam pendidikan yang dialami merugikan dirinya.           Dalam tulisan ini akan dibahas  bentuk-bentuk, faktor-faktor,  akibat dan bagaimana solusi alternative dari  corporal punishment  yang dilakukan atas nama pendidikan.

Terminologi   Kekerasan

       Pada awalnya terminologi tindak kekerasan atau child abuse dan neglect berasal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, Caffey (seorang radiologist) melaporkan kasus berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan  tanpa diketahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran, kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome (Ranuh, 1999).       Kasus yang ditemukan Caffey diatas semakin menarik perhatian publik ketika Henry Kempe tahun 1962 menulis masalah ini di Journal of the American Medical Assosiation, dan melaporkan bahwa dari 71 Rumah Sakit yang ia teliti, ternyata terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-anak, dimana 33 anak dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, dan 85 mengalami kerusakan otak yang permanen. Henry Kempe menyebut kasus penelentaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome yaitu: “Setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orangtua atau pengasuh lain.”        Selain Battered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan yang dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, yang meliputi gangguan fisik seperti diatas, juga gangguan emosi anak dan adanya akibat asuhan yang tidak memadai, ekploitasi seksual dan ekonomi, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Gelles, 1985).       

 Apabila kekerasan tersebut  dilakukan dalam dunia pendidikan maka disebut corporal punishment, yaitu  adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tertentu pada orang lain atas nama pendisiplinan anak dengan menggunakan hukuman fisik, meskipun sebenarnya hukuman/kekerasan fisik tersebut tidak diperlukan (is disciplinary action involving the infliction of psysical pain upon one person by another, although physical contact is not necessary(W.W. Charters, 197). Yang perlu digaris bawahi   bahwa unsur terpenting dari corporal punishment adalah pelakunya  adalah seseorang atau sejumlah orang terdekat seperti guru, orangtua, ustadz dan lain-lainnya yang seharusnya memiliki kewenangan, kewajiban dan kesempatan  untuk melindungi anak.

Bentuk-Bentuk  Kekerasan Pendidikan         

Di lihat dari bentuknya, kekerasan pendidikan ini ada dua. Pertama, adalah kekerasan fisik seperti penghukuman, pemukulan, penganiayaan,  dan lain-lainnya. Kedua, adalah kekerasan non-fisik atau psikis seperti memarahi anak karena prestasinya menurun, memaksa anak sekolah sebelum usianya, memaksa anak mengikuti kehendak orangtua (dalam memilih sekolah, pekerjaan), penghinaan, intimidasi/terror dan lain-lainnya. Akibat perilaku tersebut anak akan mengalami trauma dan mengganggu kreatifitas diri anak untuk berkembang sesuai dengan bakatnya, sehingga self development anak menjadi terhambat.             Sekolah, sebagai sebuah institusi pendidikan, idealnya menjadi tempat ramah bagi anak didik, dalam arti dapat memberi jaminan untuk melangsungkan proses pembelajaran. Tempat ramah dan kondusif berarti harus dapat memberikan kesenangan, keleluasaan atau kebebasan kepada anak untuk melakukan pengembangan diri secara optimal, karena hal ini akan melahirkan rasa suka dan anak termotivasi untuk berkreasi sesuai dengan bakat dan minatnya, sehingga bisa membangun kesadaran kritis sebagai jalan menuju terciptanya kemandirian anak.            Selain itu, sekolah yang ramah juga harus diartikan sebagai suatu kondisi institusi pendidikan yang jauh dari berbagai tindakan kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun non fisik. Kita sering mendengar perlakuan guru yang menampar atau menyiksa siswa karena emosi atau apapun alasannya. Sebagai contoh di Surabaya, seorang siswa terpaksa meninggal dunia karena disetrap oleh gurunya dan dihukum dengan cara lari mengelilingi lapangan sebanyak 20 kali. Siswa yang dihukum lari itu terjatuh karena dipukul dengan tongkat oleh gurunya gara-gara kecapekan dan tidak lagi kuat lari, kepalanya membentur batu hingga kemudian tewas (Memorandum, 3/9/1997).           Kasus lain di daerah Kecamatan Karang Pilang, Surabaya pertengahan Juli 1999, diberitakan ada seorang guru yang jahil memasukkan tangannya ke alat vital muridnya sendiri dan melakukan tindakan tak senonoh lainnya yang menyebabkan anak menjadi trauma (Memorandum, 15 Juli 1999). Di Ponorogo, Kecamatan Siman, seorang guru ngaji sempat menjadi sasaran kemarahan warga karena memaksa seorang gadis ingusan yang masih berusia 5 tahun melakukan oral seks ketika bermain-main di sebuah sungai kecil (Memorandum 9 Agutus 1997).          

Kasus diatas adalah contoh kecil dari kekerasan fisik yang terjadi dalam dunia pendidikan kita dan masih banyak kasus serupa terjadi, namun tidak terekspos oleh media massa. Kekerasan selama ini hanya difahami jika dilakukan secara fisik padahal kekerasan non fisik juga sangat menyakitkan anak. Salah satu contohnya adalah  sekolah membuat aturan dan kebijakan yang dapat mengekang kebebasan berpikir anak, melakukan diskriminasi, pemaksaan pendapat, pemberian nilai tidak obyektif, menggunakan kata-kata kasar, misalnya ”dasar goblok kamu” dan masih banyak kasus-kasus lain yang terkategori sebagai kekerasan non fisik yang dialami oleh anak-anak didik kita di sekolah. 

Faktor  Kekerasan Pendidikan

Dalam  pendidikan formal ditemukan sejumlah faktor yang menyebabkan lahirnya tindakan kekerasan pada anak didik. Pertama, kurikulum pendidikan yang tidak menggunakan prinsip hak adaptability anak. Adalah kurikulum yang padat, sarat beban kepentingan sehingga menyebabkan anak  terpaksa harus belajar berbagai hal  yang belum tentu relevan dengan cita-cita anak. Kedua, gurunya tidak layak sebagai guru baik dilihat  segi penguasaan substansi maupun dari segi intructional process, serta   mental guru  yang buruk. Ketiga, pengabaian terhadap hak anak untuk didengar pendapatnya. Hal ini ditandai dengan    sistem managemen sekolah yang masih sentralistis, dan tidak demokratis dalam melahirkan kebijakan sekolah. Anak didik tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan di sekolah, akibatnya kepentingan terbaik anak cenderung diabaikan. Pada hal baik dalam legislasi nasional maupun instrumen intenasional pengabaian pendapat anak merupakan pelanggaran hak asasi (pasal 6 UU 23/2002 dan pasal 12 CRC). Termasuk pengabaian pada hak anak adalah apabila peneriman siswa baru tidak didasarkan pada kemampuan dan bakat, tetapi didasarkan pada ambisi orangtua sehingga terjadi KKN antara orangtua dan kepala sekolah. Keempat, dalam dunia pendi­dikan walau telah terjadi pergeseran teori, yaitu dari cognitivisme, behavioristisme kepada humanisme, namun tidak semua guru menerapkan teori tersebut sehingga praktek corporal atas nama pendidikan masih terus  berlangsung  hingga sekarang.

Dalam pendidikan non-formal, keluarga merupakan komponen masyarakat terkecil dimana orangtua adalah lingkungan yang pertama dan utama bagi pembentukan kepribadian dan tingkah laku anak.  Keluarga yang secara normatif dikatakan sebagai tempat paling aman bagi anak-anak, ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Kekerasan pendidikan dalam keluarga banyak berkaitan dengan faktor budaya. Adalah praktek-praktek budaya yang merugikan anak baik secara fisik maupun emosional. Misalnya dalam praktek pengasuhan anak. Dalam pengasuhan anak, orangtua menekankan si anak untuk patuh kepadanya. Dalam rangka menegakkan nilai kepatuhan ini, masyarakat sering membiarkan dan mentorelir  hukuman fisik (cambuk, pecut, tending atau tempeleng) maupun kekerasan dalam bentuk pengisolasian  sosial.  Ketika terjadi kekerasan dalam keluarga, yang paling sering menjadi sasaran kemarahan orangtua adalah anak-anak. Jika sang ayah marah tidak jarang anak ditendang dan ditempeleng. Meskipun demikian tidak ada reaksi yang berarti dari orang lain (tetangga) terhadap perlakuan kasar tersebut. Para tetangga menilai kekerasan terhadap anak yang dilakukan kekeluarganya sendiri adalah urusan intern mereka sendiri. Itu mereka lakukan dalam rangka “mendidik” anak-anaknya yang dinilai membandel dan membangkang orangtua.Secara lebih rinci, seorang pemerhati anak dari Malaysia yakni Siti Fatimah (1992) menyabutkan ada enam faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak dalam keluarga.

Pertama, kemiskinan. Kemiskinan yang dihadapi sebuah keluarga seringkali membawa keluarga tersebut pada situasi kekecewaan yang pada gilirannya menimbulkan kekerasan sebagai perwujudan kegelisahan jiwa dan tekanan yang seringkali dilampiaskan terhadap anak-anak. Kedua,  keluarga tidak harmonis. Misalnya, perceraian dapat menimbulkan problematika dalam rumah tangga seperti persoalan hak pemeliharaan anak, pemberian kasih sayang, pemberian nafkah dan sebagainya. Akibat perceraian juga akan dirasakan oleh anak terutama ketika orangtua mereka menikah lagi dan anak harus dirawat oleh ibu atau ayah tiri. Dalam banyak kasus tindakan kekerasan sering dilakukan oleh ayah atau ibu tiri tersebut. Ketiga, dalam kajian psikologis  disebutkan bahwa orangtua yang melakukan tindak kekerasan adalah orangtua yang memiliki problem psikologis. Mereka senantiasa berada dalan situasi kecemasan (anxiety) dan tertekan akibat depresi/stres. Secara tipologi ciri-ciri psikologis yang menandai situasi tersebut antara lain: adanya perasan rendah diri, harapan terhadap anak yang tidak realistis, harapan yang bertolak belakang dengan kondisinya dan kurangnya pengetahuan tentang bagaimana cara mengasuh anak yang baik.  

Dampak Kekerasan  Pendidikan pada Anak

Berdasarkan bentuknya, dampak kekerasan dalam pendidikan (baik pendidikan formal maupun non formal) pada anak dapat membawa dampak negatif sebagai berikut. Pertama,  secara fisik kekerasan ini mengakibatkan adanya kerusakan tubuh seperti: luka-luka memar, luka-luka simetris di wajah (di kedua sisi), punggung, pantat, tungkai, luka lecet, sayatan-sayatan, luka bakar, pembengkakan jaringan-jaringan lunak, pendarahan dibawah kulit, dehidrasi sebagai akibat kurangnya cairan, patah tulang, pendarahan otak, pecahnya lambung, usus, hati, pancreas. Sedangkan pada penganiayaan seksual bisa berakibat kerusakan organ reproduksi seperti: terjadi luka memar, rasa sakit dan gatal-gatal di daerah kemaluan, pendarahan dari vagina atau anus, infeksi saluran kencing yang berulang, keluarnya cairan dari vagina, sulit untuk berjalan dan duduk serta terkena infeksi penyakit kelamin bahkan bisa terjadi suatu kehamilan.            Kedua, secara psikis,  anak yang mengalami penganiayaan sering menunjukkan: penarikan diri, ketakutan atau bertingkah laku agresif, emosi yang labil, depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur, phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, gangguan stress pasca trauma dan terlibat penggunaan zat adiktif, kesulitan berkomunikasi atau berhubungan dengan teman sebayanya. Mereka akan menutupi luka-luka yang dideritanya serta tetap bungkam merahasiakan pelakunya karena ketakutan akan mendapatkan pembalasan dendam.Dari hasil penelitian dikatakan bahwa penganiayaan pada masa anak menyebabkan anak berpotensi memiliki gangguan kepribadian ambang sehingga kelak anak juga berpotensi menderita depresi pada masa dewasanya. Disamping itu timbulnya gejala disaosiasi termasuk amnesia terhadap ingatan-ingatan yang berkaitan dengan penganiayaannya (Suyanto & Hariadi, 2002). Selain itu kekerasan yang terjadi pada anak dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak, sehingga kreativitas dan produktivitas anak menjadi terpasung, yang pada akhirnya mengakibatkan self development yang optimal pada diri anak tidak tercapai. Lebih jauh, jika kekerasan tersebut terjadi di sekolah maka peserta didik akan menaruh kebencian terhadap sekolah dan jika kekerasan tersebut terjadi dalam keluarga maka anak akan tidak betah dirumah. 

 Penanggulangan Kekerasan terhadap Anak          

Kekerasan, sebagai salah satu bentuk kejahatan tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini, sebagaimana tindakan kejahatan lainnya, namun hal ini tidak berarti bahwa frekuensi, prevalensi dan insidensi tindak kekerasan terhadap anak tidak dapat di reduksi atau dinimalisir. Oleh karena itu harus segera ada langkah konkrit untuk menanggulangi atau meminimalisirnya.          

Pertama, dibutuhkan payung hukum yang dapat melindungi hak-hak anak dari berbagai kekerasan dan kejahatan. Mengenai hal tersebut negara telah membuat beberapa kebijakan, diantaranya: Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.  Dalam pasal 4 dinyatakan secara tegas bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.          

Kedua,  pemerintah harus mensosialisasikan perundang-undangan perlindungan anak baik di lingkungan pemerintah, aparat hukum maupun masyarakat. Ketiga, pemerintah harus meningkatkan anggaran di sektor pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 sebesar 20 persen dan meningkatkan kualitas sekolah. Keempat,  terhadap anak yang telah menjadi korban kekerasan harus segera diberikan pertolongan, agar dapat kembali menjalani kehidupan secara normal dan sehat, baik fisik maupun psikologis. Bantuan yang diberikan bisa bersifat preventif, kuratif, dan remidiatif.           Bantuan preventif  dilakukan dengan cara menyebarluaskan pemahaman pada masyarakat bahwa tindak kekerasan terhadap anak merupakan isu anak yang penting dan harus memperoleh perhatian yang serius, serta mencegah diri sendiri melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Pengembangan kesadaran masyarakat untuk melaporkan dan memberikan bantuan awal terhadap anak korban tindak kekerasan merupakan tuntutan yang harus dilakukan sebagai upaya mendidik masyarakat.       

 Sedangkan bantuan yang bersifat kuratif dan remidiatif dilakukan dengan cara menyediakan lembaga-lembaga rujukan konsultatif bagi berbagai kasus tindak kekerasan anak yang dapat diakses oleh anak, baik secara langsung, maupun oleh orang dewasa dan atau masyarakat di sekitar anak yang peduli terhadap kekerasan. Berkaitan dengan hal tersebut, konsultasi anak tentang tindak kekerasan sebagai wadah penyaluran aspirasi anak perlu dilaksanakan dalam mewujudkan sebagian hak-hak anak yang dirasakan masih kurang diperhatikan, baik oleh orang dewasa, maupun oleh pemerintah. Terutama hak partisipasi dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupannya.       Dari konsultasi anak ini diharapkan akan meningkatkan pemahaman anak mengenai hak-hak anak dan kekerasan pada anak. Merumuskan masukan tentang prevalensi dan jenis-jenis kekerasan terhadap anak di rumah, sekolah dan institusi lainnya, seperti panti maupun penjara anak. Juga merumuskan masukan dan rekomendasi untuk pengembangan langkah-langkah yang efektif berupa kebijakan, pelayanan, pemantauan dan pelaporan untuk mencegah serta melindungi anak dari kekerasan.       Kelima, dari sisi akademis dibutuhkan lahirnya teori alternatif dari pendekatan corporal punishment, yaitu teori kontruktif  yang dapat mengantarkan anak didik menjadi disiplinan tanpa menggunakan kekerasan. Teori tersebut dapat  digali dari  prinsip-prinsip hak asazi dalam dunia pendidikan baik dari instrumen internasional maupun dari kearifan lokal. Disinilah tantangan bagi  ilmuan pendidikan untuk melahirkan teori kontruktif yang kini sangat dibutuhkan kehadirannya ditengah-tengah bangsa Indonesia yang sedang melakukan revitalisasi pendidikan nasional sehingga dapat melahirkan luaran pendidikan yang  beradab dan kompetitif berdasarkan budaya bangsa Indonesia.  
(konsultananak7@yahoo.com )     

                                                                

                                                                     

Halo dunia!

Ditulis Agustus 1, 2007 oleh konsultananak
Kategori: Tidak terkategori

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!